Awalnya begini, waktu itu sekitar bulan Februari 2017, saya ingin mengunjungi teman lama saya di Bogor dengan kendaraan umum, saya sampai di kota yang menurut saya banyak menyimpan kenangan di masa lalu, sebab saya pernah merasakan kesegaran udara kota ini sekian tahun yang lalu. Oh ya, saya sekarang berumur 28 tahun, umur yang hampir matang dan saya pernah mengenyam pendidikan di kota ini selama hampir 6 tahun.
Sampai di Bogor saya bingung ingin kemana dulu sebab setelah sampai, ada rasa rindu di dada untuk mengetahui lebih lama tentang perubahan kota ini. Setelah berkeliling Kebun Raya saya merasa penat, akhirnya saya mampir ke pusat jajan di Mal Pasar Bogor. Pikiran saya menerawang jauh ke masa lalu, sambil berjalan saya mengamati banyak orang lalu lalang di sekitar mal tersebut.Dalam hati mudah-mudahan ketemu teman, jadi kan enak bisa ada yang temani. Ketika saya menuju sebuah tempat duduk di pusat jajan saya berpapasan dengan seorang wanita, yah sekitar 25 tahun dengan berpakaian rapi seperti karyawati umumnya. Dengan tersenyum saya menyapa,
“Hai,” masalahnya wanita itu telah tersenyum duluan dengan saya. Perlu diketahui saya memang kuper bila berhadapan dengan wanita, saya tidak berani bicara dahulu tanpa didahului.
“Rasanya saya pernah kenal dengan.. Mas.."
”Wah saya dipanggil “Mas”, tapi tidak apa deh, dengan senyum lagi saya jawab,
“Dimana..” Dengan sedikit basa-basi akhirnya saya perkenalkan diri saya dan saya ajak makan bersama, kebenaran saya sedang lapar, eh dia juga mau. Sambil menikmati makanan, saya banyak diam sebab saya takut, jangan-jangan saya dijebak oleh sesuatu yang saya tidak tahu kemudian saya diperas, pikiran tersebut selalu menghantui saya. Tapi lama-kelamaan saya mulai memahami situasi. Wanita itu memperkenalkan diri sebagai Devina yang bekerja di salah satu perusahaan asuransi. Dengan sedikit berhati-hati saya memberanikan diri untuk mengajak Devina untuk beristirahat, sebab dari pembicaraan antara saya dengan dia saya simpulkan Devina juga sedang sumpek pikirannya, dia sedang mencari luapan emosi yang mendera di hatinya.
Dengan sedikit halus Devina menolak ajakan saya, sebab katanya dia takut saya berbuat jahat. Wah pikirannya sama dengan saya. Terus saya pikir lagi, mungkin wanita ini perempuan yang tidak benar (maaf.. WTS), tidak tahunya wanita benar-benar wanita karier, tapi belum menemukan karier yang jelas. Dari gaya bicaranya Devina suka dengan saya, kemudian saya melanjutkan lagi diskusi sampai hampir sejam lebih. Dengan sedikit ragu saya ajak kembali, akhirnya dengan senyum dia menyetujui tapi dengan syarat, katanya bahwa saya jangan macam-macam. Wah saya jadi gemetar, tapi naluri seorang laki-laki normal saya katakan, saya tidak akan macam-macam apabila dia tidak mecam-macam juga.Oke, sepakat kami menuju sebuah tempat di daerah pinggiran kota Bogor, tempatnya mendukung untuk sepasang yang sedang gundah gulana untuk mengemukakan perasaan yang lebih jauh.
Saya pesan sebuah ruangan paviliun yang terdiri dari kamar mandi, kamar tidur dan ada teras di dalam dengan nuansa alami. Yah di situlah saya melanjutkan kisah cerita dari hati ke hati. Saya mendengarkan dengan sabar tapi sesekali saya berikan pandangan yang luas tentang arti hidup, memang kata teman-teman saya, saya dapat memberikan rasa nyaman bila bicara, itu kata teman-teman saya (khususnya yang wanita) saya sendiri tidak merasa demikian, wah GR nih. Kurang lebih setengah jam berlalu tanpa saya duga sambil bercerita Devina menangis sambil merapatkan kepalanya di lengan saya, wah saya jadi gerogi tapi saya tahan untuk terus memberikan dorongan moril. Tapi sekali lagi sebagai laki-laki normal saya tidak bisa menahan gejolak kelaki-lakian saya, saya usap rambutnya sambil membelai-belai, tak lama kemudian tangisnya reda. Kami saling berpandangan sekian detik. Detik selanjutnya Devina memeluk erat tubuh saya, wah saya semakin tidak karuan dibuatnya.
Dengan bisikan halus saya mengingatkan jangan macam-macam, terus Devina malah mempererat pelukannya dan berkata sepertinya kami memang sudah macam-macam, wah tantangan nih saya pikir. Saya balas pelukannya dengan sedikit perlahan-lahan dan saya kecup keningnya, dengan refleks Devina mencium bibir saya, yah saya layani dengan sedikit hati-hati, saya takut hatinya masih rapuh dan terbawa emosi saja. Semakin lama ciuman kami semakin panas, saya mulai melakukan aksi menjalankan kewajiban sebagai seorang Bani Adam memberikan kenikmatan kepada seorang Bani Hawa. Dengan pasrah dibiarkannya buah dadanya saya usap-usap terus saya remas dengan sepenuh perasaan. Sedikit demi sedikit saya lepaskan baju kerjanya yang terdiri dari beberapa kancing. Akhirnya terlepas sudah baju dengan tangan kanan saya letakkan di atas meja sedang tangan kiri terus bergerilia antara “Gunung Sahari” hingga ke “Gunung Agung”. Sementara lidah kami terus bergelora saling melilit sesamanya.
Semakin ganas saja rupanya tanpa sedikit sabar kameja saya direnggutnya, saya maklum gelora nafsunya semakin naik, dia lepaskan bibirnya kemudian menjilat-jilat leher saya. Wah saya tidak tinggal diam, saya telusuri dengan lidah di balik telinga terus merayap ke leher dengan sedikit gigitan kecil, lalu saya kulum ujung payudaranya yang sedikit kecoklatan, semakin mengejang payudaranya.Saya gigit-gigit kecil,
“Ahh.. hh.. Mass.. tekann teruss..” Tanpa saya sia-siakan, saya gotong tubuh setengah bugil ke atas tempat tidur dan saya rebahkan, kemudian saya lepas roknya, terlihatlah seonggok daging yang masih terlapisi sehelai bahan tipis yang tembus pandang.
Saya terpana sejenak dengan pemandangan yang sangat indah yang susah dilukiskan dengan kata-kata. Terus saya buka perlahan-lahan sambil saya jilati dari pangkal paha sampai ujung kaki, saya buat Devina seperti mimpi. Tanpa saya perintah celana panjang saya dilepasnya hingga CD saya pun dilepaskan.Wah “adik” saya itu rupanya sudah menggeliat dengan sangat elegans. Diusapnya dengan belaian halus sambil sesekali dipijit,
“Aahh.. ahh,” saya melenguh semakin nafsu. Tiba-tiba dihisapnya ujung batang kemaluan saya, “Aahh.. ahh.. jangann!” dengan reflek saya angkat kepalanya, saya memang belum pernah dihisap kemaluan saya oleh siapapun.
Saya takut kena penyakit, kata orang-orang pintar. Tapi tindakan saya malah membuat matanya semakin syahdu, liar, nafsu, campur aduk. Ditepisnya tangan saya, dikulumnya lagi sambil bergerak maju mundur. Pikir saya, biarin deh saya yakin dia wanita bersih. Saya merasakan dunia ini berputar,
“Nikmatt.. ahh.. ahh terus yang kencang sedotnya.. ahh.. ahh..” tangan saya terus meremas-remas rambutnya yang terurai bebas lepas seperti nafsu manusia bila lepas kendali.
Semakin lama ujung kemaluan saya berdenyut-denyut menandakan saya hampir klimaks. Saya sadar, kemudian saya minta lepaskan untuk memberi peluang istirahat, dengan sedikit merenggangkan kedua pahanya, saya usap dengan jari tengah bibir kemaluannya yang sudah basah dengan lendir kewanitaan.
“Ahh..” lenguhan panjang terdengar, saya teruskan dengan menjilati hutang kemaluan di sekitar liang kemaluan.
“Eehaacckk.. aahh.. aahh..” pantatnya digerakkan semakin liar dengan kedua tangan menyanggah tubuhnya. Sedikit saya gigit ujung klitorisnya dia bergelinjang hingga terlepas dari jangkauan lidah saya. Saya berusaha menghampiri lagi tapi..
“Maass.. jangan terusskan.. ahh..” sambil tangannya menggenggam batang kemaluan saya dan ditariknya menuju liang kemaluannya yang sudah siap untuk dimasuki benda tumpul. Dengan susah saya tekan, tidak berhasil akibat licinnya landasan kemaluannya dan sempitnya lubang surganya. Tapi tanpa kehilangan kontrol akhirnya saya berhasil masuk,
“Aahh.. ahh..” Saya diamkan beberapa detik di dalam kemudian saya gerakkan perlahan-lahan sambil meresapi kenikmatan yang ditimbulkan oleh gesekkan antara dua kutup yang saling membutuhkan.
Sepuluh menit berlalu kami saling cengkram, saling gigit, saling goyang, dan seterusnya akhirnya saya berinisiatif untuk di bawah agar kenikmatan ada pada wanita.Tanpa membuang waktu Devina menggerakkan pantatnya turun naik sambil berputar putar mencari titik kenikmatan yang sangat dasyat dengan beberapa gerakan tertentu. Saya merasakan Devina semakin nikmat bila pergerakan sedikit menekan ke arah samping kanan, mungkin disitulah letak syaraf yang sangat sensitip bahkan super sensitip untuk dinikmati oleh seorang wanita yang tengah dirasuki nikmat yang luar biasa. Suara kami saling bertalu seirama dengan gerakan yang semakin dasyat. “Aakhh..” dengan menghimpitkan kedua pahanya Devina melenguh dengan kencang dan kejang.
Wah, sudah orgasme rupanya sang betina. Saya semakin nafsu dibuatnya. Beberapa saat saya balikkan tubuhnya, saya tekan dengan kemaluan saya yang menurut ukuran sedikit di atas normal dan berurat-urat. Hal itu dikatakan oleh Devina sebelum kami bertempur tadi. Saya tekan dari belakang, “Aahhk..” saya pikir masuk ke liang dubur kok sempit sekali tapi tidak tahunya benar-benar di liang kemaluannya, yang konon katanya bila dimasukkan melalui belakang, dinding kemaluan semakin rapat sehingga dapat menyedot benda-benda yang ada di sekitarnya.
“Teruss.. teruss tekan.. ahkk,” tangan saya tak lepas dari pentil payudaranya. Semakin lama ujung kemaluan saya berdenyut keras, menandakan akan ada badai dasyat. Saya hentikan tekanan kemaluan saya dalam lubang kemaluannya. Saya balikkan lagi tubuhnya dengan sangat perlahan tapi pasti. Saya ambil bantal untuk mengganjal pantatnya yang seksi agar ruang gerak kemaluan saya dapat masuk ke lembah yang lebih dalam dan dasyat lagi.Benar juga, setelah saya lepaskan “torpedo” saya, Devina bergelinjang sangat dasyat,
“Ahhk.. ah.. akk.. Mass.. kamu kok.. hbff..” wah tidak ada kata-kata lagi yang dapat diucapkan secara normal. Begitu pula saya dengan sedikit sisa tenaga yang ada, saya tekan sekuat perasaan. Beberapa detik kemudian saya sadar akan bahaya bagi Devina . bisikan beberapa kata,
“Yang.. saya.. tumpahkan.. dimaanaa..” dengan tersenyum dan mata yang telah hilang hitamnya didekapnya saya sangat erat sambil berucap,
“Te.. terussin.. Maass..” dengan ucapan demikian saya mempercepat gerakan tapi pasti, akhirnya..“Aahhk.. aohh.. nnff.. ahh..”
“Crott.. crott.. crott.. crot..”Saya dekap tubuhnya dengan sangat erat, saking dasyatnya permainan ini hingga saya takut kehilangan momentum yang tidak pernah saya dapati ini.Saya dan Devina saling peluk.
“Terima kasih.. Mass.. karena telah.. memberikan semangat lahir dan batin,” sambil mengecup kening saya. Saya hanya tersenyum penuh arti.
“Hai,” masalahnya wanita itu telah tersenyum duluan dengan saya. Perlu diketahui saya memang kuper bila berhadapan dengan wanita, saya tidak berani bicara dahulu tanpa didahului.
“Rasanya saya pernah kenal dengan.. Mas.."
”Wah saya dipanggil “Mas”, tapi tidak apa deh, dengan senyum lagi saya jawab,
“Dimana..” Dengan sedikit basa-basi akhirnya saya perkenalkan diri saya dan saya ajak makan bersama, kebenaran saya sedang lapar, eh dia juga mau. Sambil menikmati makanan, saya banyak diam sebab saya takut, jangan-jangan saya dijebak oleh sesuatu yang saya tidak tahu kemudian saya diperas, pikiran tersebut selalu menghantui saya. Tapi lama-kelamaan saya mulai memahami situasi. Wanita itu memperkenalkan diri sebagai Devina yang bekerja di salah satu perusahaan asuransi. Dengan sedikit berhati-hati saya memberanikan diri untuk mengajak Devina untuk beristirahat, sebab dari pembicaraan antara saya dengan dia saya simpulkan Devina juga sedang sumpek pikirannya, dia sedang mencari luapan emosi yang mendera di hatinya.
Dengan sedikit halus Devina menolak ajakan saya, sebab katanya dia takut saya berbuat jahat. Wah pikirannya sama dengan saya. Terus saya pikir lagi, mungkin wanita ini perempuan yang tidak benar (maaf.. WTS), tidak tahunya wanita benar-benar wanita karier, tapi belum menemukan karier yang jelas. Dari gaya bicaranya Devina suka dengan saya, kemudian saya melanjutkan lagi diskusi sampai hampir sejam lebih. Dengan sedikit ragu saya ajak kembali, akhirnya dengan senyum dia menyetujui tapi dengan syarat, katanya bahwa saya jangan macam-macam. Wah saya jadi gemetar, tapi naluri seorang laki-laki normal saya katakan, saya tidak akan macam-macam apabila dia tidak mecam-macam juga.Oke, sepakat kami menuju sebuah tempat di daerah pinggiran kota Bogor, tempatnya mendukung untuk sepasang yang sedang gundah gulana untuk mengemukakan perasaan yang lebih jauh.
Saya pesan sebuah ruangan paviliun yang terdiri dari kamar mandi, kamar tidur dan ada teras di dalam dengan nuansa alami. Yah di situlah saya melanjutkan kisah cerita dari hati ke hati. Saya mendengarkan dengan sabar tapi sesekali saya berikan pandangan yang luas tentang arti hidup, memang kata teman-teman saya, saya dapat memberikan rasa nyaman bila bicara, itu kata teman-teman saya (khususnya yang wanita) saya sendiri tidak merasa demikian, wah GR nih. Kurang lebih setengah jam berlalu tanpa saya duga sambil bercerita Devina menangis sambil merapatkan kepalanya di lengan saya, wah saya jadi gerogi tapi saya tahan untuk terus memberikan dorongan moril. Tapi sekali lagi sebagai laki-laki normal saya tidak bisa menahan gejolak kelaki-lakian saya, saya usap rambutnya sambil membelai-belai, tak lama kemudian tangisnya reda. Kami saling berpandangan sekian detik. Detik selanjutnya Devina memeluk erat tubuh saya, wah saya semakin tidak karuan dibuatnya.
Dengan bisikan halus saya mengingatkan jangan macam-macam, terus Devina malah mempererat pelukannya dan berkata sepertinya kami memang sudah macam-macam, wah tantangan nih saya pikir. Saya balas pelukannya dengan sedikit perlahan-lahan dan saya kecup keningnya, dengan refleks Devina mencium bibir saya, yah saya layani dengan sedikit hati-hati, saya takut hatinya masih rapuh dan terbawa emosi saja. Semakin lama ciuman kami semakin panas, saya mulai melakukan aksi menjalankan kewajiban sebagai seorang Bani Adam memberikan kenikmatan kepada seorang Bani Hawa. Dengan pasrah dibiarkannya buah dadanya saya usap-usap terus saya remas dengan sepenuh perasaan. Sedikit demi sedikit saya lepaskan baju kerjanya yang terdiri dari beberapa kancing. Akhirnya terlepas sudah baju dengan tangan kanan saya letakkan di atas meja sedang tangan kiri terus bergerilia antara “Gunung Sahari” hingga ke “Gunung Agung”. Sementara lidah kami terus bergelora saling melilit sesamanya.
Semakin ganas saja rupanya tanpa sedikit sabar kameja saya direnggutnya, saya maklum gelora nafsunya semakin naik, dia lepaskan bibirnya kemudian menjilat-jilat leher saya. Wah saya tidak tinggal diam, saya telusuri dengan lidah di balik telinga terus merayap ke leher dengan sedikit gigitan kecil, lalu saya kulum ujung payudaranya yang sedikit kecoklatan, semakin mengejang payudaranya.Saya gigit-gigit kecil,
“Ahh.. hh.. Mass.. tekann teruss..” Tanpa saya sia-siakan, saya gotong tubuh setengah bugil ke atas tempat tidur dan saya rebahkan, kemudian saya lepas roknya, terlihatlah seonggok daging yang masih terlapisi sehelai bahan tipis yang tembus pandang.
Saya terpana sejenak dengan pemandangan yang sangat indah yang susah dilukiskan dengan kata-kata. Terus saya buka perlahan-lahan sambil saya jilati dari pangkal paha sampai ujung kaki, saya buat Devina seperti mimpi. Tanpa saya perintah celana panjang saya dilepasnya hingga CD saya pun dilepaskan.Wah “adik” saya itu rupanya sudah menggeliat dengan sangat elegans. Diusapnya dengan belaian halus sambil sesekali dipijit,
“Aahh.. ahh,” saya melenguh semakin nafsu. Tiba-tiba dihisapnya ujung batang kemaluan saya, “Aahh.. ahh.. jangann!” dengan reflek saya angkat kepalanya, saya memang belum pernah dihisap kemaluan saya oleh siapapun.
Saya takut kena penyakit, kata orang-orang pintar. Tapi tindakan saya malah membuat matanya semakin syahdu, liar, nafsu, campur aduk. Ditepisnya tangan saya, dikulumnya lagi sambil bergerak maju mundur. Pikir saya, biarin deh saya yakin dia wanita bersih. Saya merasakan dunia ini berputar,
“Nikmatt.. ahh.. ahh terus yang kencang sedotnya.. ahh.. ahh..” tangan saya terus meremas-remas rambutnya yang terurai bebas lepas seperti nafsu manusia bila lepas kendali.
Semakin lama ujung kemaluan saya berdenyut-denyut menandakan saya hampir klimaks. Saya sadar, kemudian saya minta lepaskan untuk memberi peluang istirahat, dengan sedikit merenggangkan kedua pahanya, saya usap dengan jari tengah bibir kemaluannya yang sudah basah dengan lendir kewanitaan.
“Ahh..” lenguhan panjang terdengar, saya teruskan dengan menjilati hutang kemaluan di sekitar liang kemaluan.
“Eehaacckk.. aahh.. aahh..” pantatnya digerakkan semakin liar dengan kedua tangan menyanggah tubuhnya. Sedikit saya gigit ujung klitorisnya dia bergelinjang hingga terlepas dari jangkauan lidah saya. Saya berusaha menghampiri lagi tapi..
“Maass.. jangan terusskan.. ahh..” sambil tangannya menggenggam batang kemaluan saya dan ditariknya menuju liang kemaluannya yang sudah siap untuk dimasuki benda tumpul. Dengan susah saya tekan, tidak berhasil akibat licinnya landasan kemaluannya dan sempitnya lubang surganya. Tapi tanpa kehilangan kontrol akhirnya saya berhasil masuk,
“Aahh.. ahh..” Saya diamkan beberapa detik di dalam kemudian saya gerakkan perlahan-lahan sambil meresapi kenikmatan yang ditimbulkan oleh gesekkan antara dua kutup yang saling membutuhkan.
Sepuluh menit berlalu kami saling cengkram, saling gigit, saling goyang, dan seterusnya akhirnya saya berinisiatif untuk di bawah agar kenikmatan ada pada wanita.Tanpa membuang waktu Devina menggerakkan pantatnya turun naik sambil berputar putar mencari titik kenikmatan yang sangat dasyat dengan beberapa gerakan tertentu. Saya merasakan Devina semakin nikmat bila pergerakan sedikit menekan ke arah samping kanan, mungkin disitulah letak syaraf yang sangat sensitip bahkan super sensitip untuk dinikmati oleh seorang wanita yang tengah dirasuki nikmat yang luar biasa. Suara kami saling bertalu seirama dengan gerakan yang semakin dasyat. “Aakhh..” dengan menghimpitkan kedua pahanya Devina melenguh dengan kencang dan kejang.
Wah, sudah orgasme rupanya sang betina. Saya semakin nafsu dibuatnya. Beberapa saat saya balikkan tubuhnya, saya tekan dengan kemaluan saya yang menurut ukuran sedikit di atas normal dan berurat-urat. Hal itu dikatakan oleh Devina sebelum kami bertempur tadi. Saya tekan dari belakang, “Aahhk..” saya pikir masuk ke liang dubur kok sempit sekali tapi tidak tahunya benar-benar di liang kemaluannya, yang konon katanya bila dimasukkan melalui belakang, dinding kemaluan semakin rapat sehingga dapat menyedot benda-benda yang ada di sekitarnya.
“Teruss.. teruss tekan.. ahkk,” tangan saya tak lepas dari pentil payudaranya. Semakin lama ujung kemaluan saya berdenyut keras, menandakan akan ada badai dasyat. Saya hentikan tekanan kemaluan saya dalam lubang kemaluannya. Saya balikkan lagi tubuhnya dengan sangat perlahan tapi pasti. Saya ambil bantal untuk mengganjal pantatnya yang seksi agar ruang gerak kemaluan saya dapat masuk ke lembah yang lebih dalam dan dasyat lagi.Benar juga, setelah saya lepaskan “torpedo” saya, Devina bergelinjang sangat dasyat,
“Ahhk.. ah.. akk.. Mass.. kamu kok.. hbff..” wah tidak ada kata-kata lagi yang dapat diucapkan secara normal. Begitu pula saya dengan sedikit sisa tenaga yang ada, saya tekan sekuat perasaan. Beberapa detik kemudian saya sadar akan bahaya bagi Devina . bisikan beberapa kata,
“Yang.. saya.. tumpahkan.. dimaanaa..” dengan tersenyum dan mata yang telah hilang hitamnya didekapnya saya sangat erat sambil berucap,
“Te.. terussin.. Maass..” dengan ucapan demikian saya mempercepat gerakan tapi pasti, akhirnya..“Aahhk.. aohh.. nnff.. ahh..”
“Crott.. crott.. crott.. crot..”Saya dekap tubuhnya dengan sangat erat, saking dasyatnya permainan ini hingga saya takut kehilangan momentum yang tidak pernah saya dapati ini.Saya dan Devina saling peluk.
“Terima kasih.. Mass.. karena telah.. memberikan semangat lahir dan batin,” sambil mengecup kening saya. Saya hanya tersenyum penuh arti.
No comments:
Post a Comment